Oleh: Yulia Nurlayly (Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia)

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) baru saja merilis Rapor Pendidikan pada Selasa (18/3/2025). Menurut Menteri Abdul Mu’ti, laporan ini disusun berdasarkan data Asesmen Nasional (AN) dari tahun 2022 hingga 2024. Secara umum, hasilnya masih terlihat baik. Namun, jika diteliti lebih dalam, terdapat penurunan kualitas yang tidak bisa diabaikan. Di sinilah titik krusialnya, di mana evaluasi hasil belajar seharusnya tidak hanya menjadi laporan akhir tahun, tetapi juga berfungsi sebagai alat refleksi bersama.
Masalahnya, banyak orang tua yang langsung menjustifikasi anak jika hasil belajar menurun. Padahal, belajar bukan hanya perihal duduk di bangku sekolah. Ada peran penting yang dimainkan di rumah. Orang tua bukan sekadar penonton pasif, melainkan aktor utama setelah guru. Sebelum mengeluh soal nilai, coba tanya dulu sudahkah kita hadir dan terlibat dalam proses belajar anak?
Keterlibatan ini bukan lah hal sepele. Cara orang tua mendampingi, memberi semangat, hingga sekadar menanyakan, “Belajar apa hari ini?” bisa berdampak besar pada semangat belajar anak. Tapi sering kali, tanggung jawab pendidikan malah dilempar ke sekolah. Seolah-olah ketika anak duduk di bangku kelas, semua urusan belajar selesai di tangan guru.
Kenyataannya, justru anak lebih banyak menghabiskan waktu di luar sekolah. kesempatan itulah yang mestinya dimanfaatkan orang tua dalam menciptakan suasana belajar yang mendukung. Bukan berarti harus menjadi guru dadakan, tetapi cukup hadir dan peduli. Seperti yang pernah disampaikan dr. Aisyah Dahlan dalam kanal Youtube Pecinta dr Aisyah Dahlan, CHt dengan judul Mengoptimalkan Peranan dan Fungsi Orang Tua dalam Mendidik Anak, dr Aisyah Dahlan menyampaikan bahwa “orang tua memiliki perannya masing-masing dalam pendidikan anak. Dengan ayah sebagai penanggung jawab visi dan misi pendidikan, sedangkan ibu sebagai pelaksana harian kepada anaknya.” Dimana peran orang tua dalam pendidikan punya porsinya masing-masing.
Dalam hal ini, ayah berperan sebagai penyedia kebutuhan, yaitu mencari nafkah, membiayai pendidikan, dan menyiapkan sarana belajar di rumah. Sementara itu, ibu lebih banyak berperan dalam menanamkan nilai-nilai melalui kebiasaan sehari-hari. Jika ayah memberikan arahan, maka ibu menjadi contoh nyata dalam pelaksanaannya. Keduanya harus kompak membangun ruang belajar yang kondusif, baik secara fisik maupun emosional.
Tentu saja, guru tetap memiliki peran penting, di mana tugas guru tak berhenti di papan tulis saja. Mereka harus membimbing, memotivasi, bahkan ikut membentuk karakter siswa-siswanya. Karena itu, komunikasi aktif antara guru dan orang tua sangatlah penting. Ketika dua pihak ini saling berbagi informasi dan masukan, maka proses belajar anak akan jauh lebih bermakna.
Kalau urusan nilai ujian masih dianggap segalanya, berarti kita belum benar-benar paham arti belajar yang sesungguhnya?
Bicara soal pendidikan, satu hal yang sering luput adalah sistem evaluasi. Banyak yang masih memaknai evaluasi sebagai angka di rapor atau hasil ujian semata. Padahal, dalam pelajaran Bahasa Indonesia misalnya, evaluasi mestinya mencakup keseluruhan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, membaca, menulis, dan berbicara.
Menyimak itu soal memahami informasi lisan. Membaca dapat membuka pintu pengetahuan. Menulis melatih cara berpikir runtut, dan berbicara? Itu senjata utama untuk berkomunikasi dan percaya diri. Sayangnya, keempat keterampilan ini sering terpinggirkan di dalam evaluasi. Dengan ujian yang masih didominasi hafalan dan pilihan ganda dan bukan kemampuan nyata anak dalam menggunakan bahasa.
Padahal, keterampilan berbahasa adalah fondasi penting di hampir semua aspek kehidupan. Anak yang mampu berbicara dengan jelas, menulis dengan baik, atau memahami bacaan dengan kritis memiliki modal besar untuk sukses, bukan cuma di kelas, tetapi juga di dunia nyata.
Jadi, evaluasi yang juga ada di dalam pelajaran Bahasa Indonesia ini perlu dibenahi. Guru bisa menjadikannya sebagai bahan refleksi, misalnya metode mana yang jauh lebih efektif, cara seperti apa yang mampu membuat anak semangat dalam belajar, dan bagian mana saja yang perlu diperbaiki. Sementara itu, orang tua bisa melihat di mana anak perlu pendampingan lebih. Jika evaluasi dijadikan sebagai alat kolaborasi, maka bukan sekadar angka saja, hasilnya pun akan jauh lebih bermakna.
Kita ini hidup di zaman yang terus berubah. Maka cara menilai belajar pun harus ikut berubah. evaluasi tak cukup hanya dengan mengukur skor, tetapi harus juga dengan menggali potensi, keterampilan, dan bahkan minat anak. Dengan begitu, pembelajaran di sekolah tak lagi menjadi beban hafalan saja, namun juga sebagai ruang untuk tumbuh, berbicara, menulis, serta berpikir.
Sudah saatnya kita berhenti memisahkan mana yang jadi tugas sekolah dan mana yang rumah. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Dan evaluasi, jika dilakukan secara kolaboratif, dapat menjadi jembatan yang dapat menghubungkan keduanya.
